MENGOPTIMALKAN PENGAWASAN PEMBAYARAN UMP
Upah Minimum Propinsi (UMP) DIY 2012 sudah ditetapkan
sebesar Rp586.000,- dan akan
diberlakukan mulai 1 Januari 2012. Sebelum nominal nilai sebesar Rp586.000,- di atas ditetapkan pada 26 November 2011 lalu, benyak desakan dari berbagai organisasi
atau serikat pekerja supaya Dewan pengupahan memperhitungkan Kebutuhan Hidup
Layak (KHL). Sementara itu angka di atas menurut kalangan pengusaha di DIY dinilai memberatkan,
terlebih dengan banyaknya produk
asing yang masuk Indonesia.
Terlepas dari pro
dan kontra di atas, ketika besaran UMP sudah ditetapkan, maka langkah
selanjutnya adalah pengawasan pembayaran upah sebesar minimal UMP oleh pengusaha. Masalah pengawasan pembayaran upah
sebesar minimal UMP ini menjadi demikian
penting karena “disinyalir” masih
banyak perusahaan yang tidak membayar upah pekerjanya minimal sebesar UMP.
Kewenangan pengawasan secara yuridis ada pada Dinas
Tenaga Kerja setempat, baik di tingkat kabupaten maupun kota. Selain itu masing-masing kantor dinas tersebut mempunyai “pegawai
pengawas” yang antara lain bertugas untuk mengawasi pembayaran upah pekerja
minimal sebesar UMP. Namun demikian kantor
dinas mempunyai
keterbatasan
jumlah personil pengawas, sementara jumlah perusahaan yang harus diawasi dari
waktu ke waktu terus meningkat jumlahnya. Fenomena ini menjadi salah satu
penyebab banyaknya pelaku usaha yang tidak membayar upah pekerjanya minimal
sebesar UMP, meskipun sebenarnya secara financial mampu.
Dalam situasi ketenagakerjaan seperti digambarkan di
atas, wacana untuk memperluas pengawasan pembayaran upah minimal sebesar
UMPmenjadi demikian urgent. Pertanyaan selanjutnya adalah siapa pelaku pengawasan yang mempunyai
komitmen dan juga sekaligus mempunyai kompetensi di bidang pengupahan ini? Upaya untuk memaksa
pelaku usaha agar minimal membayar upah pekerjanya sebesar UMP tertuang dalam
UU Ketenagakerjaan No 13 tahun 2003. Pelanggaran terhadap undang-undang
tersebut pelaku usaha dapat dikenai sanksi
penjara 1 tahun sampai selama-lamanya 4 tahun atau denda sebesar 100 juta
rupiah dan sebanyak-banyaknya 400 juta rupiah.
Di lihat dari sisi sanksi yang dikenakan “nampaknya”
mampu memaksa pelaku usaha untuk mentaatinya. Kenyataannya sangat jarang kita
temukan dalam praktek pelaku usaha yang dikenai sanksi ini. Ada beberapa pertimbangan yang menyebabkan
sanksi ini jarang dikenakan antara lain tingginya tingkat pengangguran sehingga
ada kekhawatiran akan mempersempit lapangan usaha. Dari sisi pelaku usahanya
sendiri masih banyak yang menganggap pekerja tidak lebih dari sekedar faktor
produksi. Dengan begitu apabila ada
permasalahan dengan pekerja, maka pengusaha
dapat segera mengganti dengan pekerja yang lain.
Dalam situasi pengupahan dan pasar tenaga kerja seperti digambarkan di atas, wacana untuk memperluas
pelaku pengawasan pengupahan semakin menguat. Para
pekerja diharapkan dapat berperan sebagai pengawas pengupahan di tingkat
perusahaan. Apabila perusahaannya tidak memberikan upah sebesar UMP, maka para
pekerja ini akan membahas masalahanya dengan pihak manajemen
ataupun pelaku usaha. Jika pembahasan di tingkat perusahaan yang bersifat
bipartit ini belum memberikan hasil, maka masalahnya dapat dikonsultasikan atau diajukan kepada
kantor dinas ketenagakerjaan di tingkat kabupaten ataupun kota. Bahkan dalam kasus-kasus tertentu
pekerja dapat melaporkan masalahnya ke kantor tersebut.
Wacana pengawasan pengupahan dapat diperluas lagi pada
tingkat serikat atau organisasi pekerja. Serikat pekerja yang anggotanya adalah
para pekerja ini diharapkan dapat berperan lebih aktif baik dalam penentuan besarnya
upah di tingkat perusahaan maupun dalam pengawasan pembayarannya. Pengawasan yang dilakukan oleh serikat
pekerja ini diharapkan lebih efektif karena mempunyai bargaining power yang lebih kuat dibanding dengan pekerja secara
individual.
Dari sudut pandang pelaku usaha, pengawasan dapat bernilai
positif, di mana permasalahan pengupahan dapat segera dikomunikasikan dan dipecahkan. Munculnya
pemogokan bukan hanya merugikan secara finansial bagi kedua belah pihak tetapi juga merusak hubungan kerja yang sudah
terbangun sebelumnya. Ketidakmampuan pelaku usaha dalam membayar upah minimal
sebesar UMP juga dapat dikomunikasikan
dengan pekerja ataupun serikat pekerjanya, untuk selanjutnya diambil suatu
kesepakatan. Selanjutnya Dinas Ketenagakerjaan di tingkat kabupaten/kota tetap melakukan fungsi pengawasan dan sekaligus legalisasi pelaku usaha dalam
memenuhi pembayaran UMP.
Sri Haryani
Dosen STIM YKPN
EmoticonEmoticon