Ada
Apa dengan Outsourcing?
Outsourcing
yaitu memperjakan tenaga kerja dari
perusahaan penyedia jasa tenaga kerja (vendor)
untuk mengerjakan tugas-tugas sesuai dengan kebutuhan dari perusahaan
klien. Hubungan antara perusahaan klien
dengan perusahaan vendor pada umumnya
bersifat sementara, meskipun dapat pula relatif panjang. Dalam prakteknya
banyak sekali pekerjaan yang semula dikerjakan oleh karyawan perusahaan
sekarang dialihkan ke karyawan outsourcing.
Pekerjaan-pekerjaan seperti teller bank, administrasi kantor, customer service, cleaining service,
satpam, dan sopir sekarang dikerjakan
oleh tenaga outsourcing.
Tenaga kerja outsourcing di Indonesia sampai saat ini masih kontroversial,
namun situasi bisnis yang tidak pasti dan adanya manfaat yang signifikan dari
tenaga outsourcing mendorong
perusahaan-perusahaan di Indonesia untuk
menggunakannya. Perusahaan tertarik
mengadakan outsourcing tenaga kerja karena
manfaat atau kelebihannya yang dapat
menurunkan biaya, tidak perlu melakukan program pelatihan tenaga kerja,
mendapatkan tenaga kerja dengan kualitas yang lebih baik secara instan, dan terlepas dari masalah
hubungan kerja karena tenaga outsourcing
adalah tenaga dari perusahaan vendor.
Keberatan
dari pihak karyawan outcourcing
sendiri adalah dari faktor keamanan dalam bekerja, di mana setelah jangka waktu
tertentu karyawan outsourcing akan dikembalikan ke perusahaan vendor. Hal ini dapat menurunkan motivasi dan layolitas terhadap perusahaan. Dalam
beberapa kasus, karyawan tetap kurang dapat menerima kehadiran tenaga kerja outsourcing, karena ada peluang upah
yang hilang. Mereka menginginkan untuk mengerjakan sendiri semua pekerjaan
dengan harapan dapat menambah upah variabel. Mereka juga memandang bahwa outsourcing dapat menyebabkan mereka
kehilangan pekerjaan dan karyawan level manajemen berpendapat bahwa outsourcing menyebabkan hilangnya pengendalian.
Sementara itu ada sebagian karyawan maupun manajemen yang setuju untuk
mengadakan outsourcing, karena dengan
adanya tenaga kerja outsourcing keuntungan
perusahaam secara keseluruhan akan meningkat yang dalam jangka panjang.akan menjamin
kelangsungan hidup perusahaan.
Fenomena
ini dijawab oleh para entrepreneur
dengan mendirikan perusahaan yang bergerak di bidang penyedia tenaga kerja (vendor). Angkatan kerja yang tidak
tertampung di perusahaan menjadi karyawan tetap maupun kontrak, dapat bekerja
di perusahaan-perusahaan vendor, seperti: PT PKSG, PT Panias, PT Srikandi, PTY
Cipta Pesona dan lain-lain. Secara makro tidak ada perubahan penyerapan tenaga
kerja, hanya sifatnya yang tetap, kontrak atau outsourcing.
Penggunaan
tenaga outsourcing di Indonesia
relatif baru dibanding perusahaan-perusahaan di Amerika dan Eropa, namun ke
depan sistem outsourcing ini
diprediksi akan semakin banyak digunakan. Pada awalnya tenaga outsourcing ini hanya untuk
pekerjaan-pekerjaan yang tidak memerlukan pendidikan dan keterampilan yang
tinggi, seperti cleaning service, satpam, dan sopir. Pihak manajemen kemudian
mempertimbangkan bidang-bidang pekerjaan lain yang dapat dikerjakan oleh tenaga
outsourcing, seperti teknologi informasi, riset dan pengembangan, teller bank,
dan lain-lain. Pada umumnya perusahaan tidak menggunakan tenaga outsourcing
untuk pekerjaan-pekerjaan yang vital dan menyangkut kelangsungan hidup
perusahaan, seperti keuangan, personalia, dan strategik.
Pertanyaan
selanjutnya adalah pekerjaan-pekerjaan apa saja yang dapat dialihkan ke tenaga outsourcing, sehingga dapat memberikan keuntungan bagi
perusahaan? Pada prinsipnya semua pekerjaan dapat
dikerjakan oleh tenaga outsourcing,
namun untuk mendapatkan hasil yang maksimal, pihak manajemen harus menentukan
pekerjaan mana yang tetap harus dilakukan sendiri oleh perusahaan, pekerjaan
mana yang dapat dilakukan oleh tenaga outsourcing,
dan pekerjaan mana yang sebaiknya dihilangkan saja. Berdasar sifatnya pekerjaan yang ada
diperusahaan dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu, pekerjaan yang bersifat
administratif, pelayanan, dan strategik. Dari ketiga sifat pekerjaan itu yang
memberikan nilai tambah (value added)
terbesar adalah pekerjaan yang sifatnya strategik, kedua berasal dari pekerjaan
yang sifatnya pelayanan, dan terakhir dari pekerjaan yang sifatnya
administratif.
Dari
gambaran di atas tidak ada pekerjaan yang tidak memberikan nilai tambah bagi
perusahaan, namun konsep ini dapat dipertajam lagi menjadi pekerjaan yang nilai
tambahnya relatif kecil akan
dihilangkan. Pekerjaan
administratif paling kecil nilai
tambahnya, sehingga paling besar kemungkinan untuk dihilangkan. Selanjutnya
konsep penghilangan ini juga diperlebar lagi menjadi pekerjaan tersebut tidak
lagi dilakukan dengan tenaga manusia, tetapi diganti dengan tenaga mesin atau
otomatisasi. Pekerjaan yang bersifat administratif meliputi: pencatatan dan
pelaporan aktivitas baik yang rutin maupun insidental.
Meskipun
sebagian besar pengguna tenaga outsourcing
adalah perusahaan besar, namun outsourcing
juga potensial untuk diterapkan di perusahaan kecil. Pada perusahaan skala
kecil beban kerja relatif sedikit, sehingga untuk pekerjaan tertentu misalnya
tenaga promosi, customer service, cleaning service, dan satpam dapat di-outsourcing. Penggunaan tenaga outsourcing ini juga tidak memberatkan
perusahaan, karena perusahaan tidak harus merekrut sendiri dan melatihnya,
tetapi tinggal menggunakan dari perusahaan vendor.
Legalitas Outsourcing Pasca Putusan MK
Oleh: Juanda Pangaribuan*)
Oleh: Juanda Pangaribuan*)
Untuk memberi kepastian hukum, kini, saat yang tepat bagi pemerintah dan
DPR membahas perubahan UU Ketenagakerjaan.
A. Outsourcing dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
Belakangan ini outsourcing
menjadi salah satu kosa kata yang populer. Sebenarnya, praktik outsourcing sudah
berlangsung sebelum pemerintah mengundangkan UU No 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan). Praktik outsourcing sangat mudah
kita temukan terutama pada sektor pertambangan minyak dan gas bumi (migas).
Sebelum UU Ketenagakerjaan berlaku sebagai hukum positif, UU bidang perburuhan tidak mengatur sistem outsourcing. Pengaturan tentang outsourcing dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) pertama kali diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) No 5 Tahun 1995 dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No 2 Tahun 1993. Melihat subtansi Bab IX UU Ketenagakerjaan khususnya mengenai PKWT, pembentuk undang-undang mengadopsi isi dari dua Permenaker di atas.
Dalam perkembangannya, lantaran dianggap tak memberikan jaminan kepastian bekerja, tak lama setelah UU Ketenagakerjaan diberlakukan, sebanyak 37 serikat pekerja/serikat buruh mengajukan perlawanan ataslegalisasi sistem outsourcing dan PKWT ini. Caranya dengan mengajukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebagaimana teregistrasi dengan permohonan No 12/PUU-I/2003.
Ada beberapa pasal yang diuji, termasuk Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan yang mengatur soal outsourcing. Saat itu, MK menolak permohonan atas ketiga ketentuan tersebut. Salah satu pertimbangan dalam putusan No 12/PUU-I/2003 mengatakan, sistem outsourcing tidak merupakan modern slavery dalam proses produksi.
Upaya buruh melawan sistem outsourcing dan kerja kontrak seakan tidak pernah berhenti. Buktinya, tuntutan untuk menghapus sistem outsourcing dan buruh kontrak kembali memasuki gedung MK.
Dalam register permohonan No 27/PUU-IX/2011 tercatat Didik Supriadi mewakili Aliansi Petugas Pembaca Meter Listrik Indonesia (AP2MLI) mengajukan judicial review terhadap Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan.
Lembaga pengawal konstitusi itu mengabulkan permohonan Didik Supriadi untuk sebagian dan menolak permohonan atas Pasal 59 dan Pasal 64 UU Ketenagakerjaan. Secara eksplisit MK menyatakan kedua ketentuan itu tidak bertentangan dengan UUD 1945
Serikat pekerja/serikat buruh menyambut putusan MK itu dengan argumen tak senada. Ada yang gembira dan ada yang mencibir. Kelompok yang gembira berasumsi bahwa MK telah menyatakan outsourcing dan PKWT sebagai praktik illegal. Asumsi lain menyimpulkan, MK telah menghapus sistem outsourcing dan PKWT. Yang mencibir berkata, putusan MK melegalisasi dan mengkonstitusionalkan sistem outsourcing dan PKWT.
Sambutan pekerja/buruh atas putusan MK itu sudah pasti berbeda dengan pemerintah. Itu konsekuensi dari psikologi politik. Bagaimanapun, substansi undang-undang yang dikabulkan oleh MK itu merupakan karya perjuangan pemerintah di gedung DPR. Pertimbangan MK mengatakan Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2) huruf (b) UU Ketenagakerjaan inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) membuktikan bahwa isi UU Ketenagakerjaan semakin banyak yang bertentangan dengan UUD 1945. Putusan MK seperti itu cukup sebagai argumen menuduh DPR dan pemerintah telah mengabaikan konstitusi saat menyusun materi undang-undang.
Putusan MK No
27/PUU-IX/2011 ini juga memberi efek kejut yang lebih dasyat bila dibandingkan
putusan MK lainnya di bidang Ketenagakerjaan. Ada yang mengatakan, dasar hukum outsourcing
tidak sah pasca putusan MK. Bahkan, PKWT yang sudah ditandatangani sebelum
putusan MK oleh sebagian kalangan dinilai telah bertentangan dengan putusan MK.
Untuk menjawab hal itu Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi menerbitkan Surat Edaran (SE) No. B.31/PHIJSK/I/2012 tanggal 20 Januari 2012. Butir akhir dari SE itu menguraikan sikap Kemenakertrans berkaitan dengan efektivitas waktu berlakunya putusan MK. Yaitu, PKWT yang sudah ada sebelum putusan MK tetap berlaku sampai berakhir waktu yang diperjanjikan.
Untuk menyelaraskan pemahaman tentang eksistensi dan peluang praktik outsourcing dan PKWT, kita perlu menelaah secara cermat amar dan pertimbangan putusan MK dimaksud. Di dalam pertimbangan hukum, MK menawarkan dua model pelaksananaan outsourcing.
Model pertama, outsourcing dilakukan dengan menerapkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) secara tertulis. Model ini bukan hal baru sebab Pasal 65 ayat (7) UU Ketenagakerjaan telah mengaturnya secara opsional. Model kedua, lanjut MK, menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja/buruh (Transfer of Undertaking Protection of Employment atau TUPE) yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing.
Bagian utama dari amar putusan MK menyatakan “frasa perjanjian kerja waktu tertentu dalam Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2) huruf (b) UU No. 13 tahun 2003 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.” Kata sepanjang dan seterusnya dalam amar di atas berlaku sebagai syarat bila pengusaha menggunakan sistem PKWT.
Berikut adalah beberapa catatan terkait dengan amar dan pertimbangan hukum MK di atas:
a.
MK menyatakan Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65 kecuali
ayat (7) dan Pasal 66 kecuali ayat (2) huruf (b) UU No. 13 tahun 2003 tidak
bertentangan dengan UUD 1945. Artinya, ketentuan selain ayat (7) pada Pasal 65
dan ayat (2) huruf (b) pada Pasal 66 tetap berlaku sebagai hukum positif.
Dengan demikian, pengusaha tetap boleh menyerahkan atau memborongkan pekerjaannya kepada perusahaan lain sehingga sistem outsourcing tetap bisa dilaksanakan. Hal ini sesuai dengan pertimbangan MK yang menyatakan “...penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan secara tertulis atau melalui perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh (perusahaan outsourcing) adalah kebijakan usaha yang wajar dari suatu perusahaan dalam rangka efisiensi usaha.”
b. MK tidak menyatakan sistem outsourcing sebagai sistem terlarang dalam relasi bisnis dan hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Dalam posisi itu, Pasal 64 UU No 13 Tahun 2003 tetap sah sebagai dasar hukum bagi perusahaan untuk melaksanakan outsourcing dan Pasal 65 kecuali ayat (7) dan Pasal 66 kecuali ayat (2) huruf (b) sebagai teknis hubungan kerja dalam perusahaan outsourcing.
c. Yang tidak mengikat dalam Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2) huruf (b) UU No 13 Tahun 2003 hanya mengenai frasa ‘perjanjian kerja waktu tertentu’ sepanjang tidak mengatur syarat jaminan pengalihan perlindungan hak pada perusahaan pemenang tender berikutnya. MK tidak menyebutkan apa yang dimaksud dengan pengalihan perlindungan hak pekerja/buruh tetapi hal itu dapat dipahami meliputi dua hal: (a) jaminan kelangsungan bekerja saat berakhir perjanjian pemborongan; (b) jaminan penerimaan upah tidak lebih rendah dari perusahaan sebelumnya;
d. Pengusaha dapat menerapkan sistem outsourcing dengan status PKWT sepanjang PKWT memuat klausul yang memberi jaminan perlindungan hak pekerja/buruh bahwa hubungan kerja pekerja/buruh yang bersangkutan akan dilanjutkan pada perusahaan berikutnya, dalam hal objek kerjanya tetap ada. Bila objek pekerjaan itu tetap ada sedangkan syarat pengalihan perlindungan hak tidak diatur di dalam PKWT, hubungan kerja pekerja/buruh berupa PKWTT. Secara teknis, syarat PKWT bisa diatur pada bagian penutup perjanjian. Pada akhirnya, klausul itu berfungsi sebagai alat ukur untuk menilai bentuk hubungan kerja, apakah berbentuk PKWT atau PKWTT;
e. Amar putusan MK tidak secara eksplisit menyatakan perjanjian kerja pekerja/buruh dalam lingkungan perusahaan outsourcing harus dengan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). Di dalam pertimbangan hukumnya MK menawarkan PKWTT sebagai salah satu model outsourcing. Sesuai uraian di atas, MK tidak mengharuskan perusahaan menerapkan PKWTT. Status PKWTT dalam perusahaan hanya terjadi bila: (a) PKWT tidak mensyaratkan pengalihan perlindungan hak pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada; atau (b) perusahaan sejak awal menerapkan PKWTT.
B. Pengalihan Perlindungan Hubungan Kerja
Berkaitan dengan
PKWT dalam outsourcing, amar putusan MK mempertahankan dua bentuk
hubungan kerja yang salama ini dikenal dalam UU Ketenagakerjaan, yakni PKWT dan
PKWTT. Penegasan lain dari putusan MK adalah memperkenalkan sekaligus
membolehkan dua macam PKWT, yaitu PKWT bersyarat dan PKWT tidak bersyarat.
Termasuk PKWT bersyarat adalah PKWT yang mengharuskan perusahaan outsourcing
mensyaratkan pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh apabila objek
kerjanya tetap ada meskipun perusahaan pemborong pekerjaan atau
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh diganti. Adapun PKWT tanpa syarat adalah
PKWT yang dilaksanakan tanpa mensyaratkan adanya pengalihan hak-hak bagi
pekerja/buruh sebagaimana disebutkan di atas.
Dalam praktik outsourcing, pekerja/buruh ada yang bekerja belasan hingga puluhan tahun pada satu lokasi kerja walaupun perusahaan outsourcing-nya sudah berganti. Kadangkala pemilik perusahaan-perusahaan itu sama, yang berbeda hanya nama perusahaan.
Putusan MK yang menyatakan PKWT sah bila mengatur syarat pengalihan perlindungan hak pekerja/buruh tentu mengundang pertanyaan. Apa yang akan terjadi bila klausul PKWT yang sedang berjalan mengharuskan perusahaanpemenang tender yang belum dikenal wajib melanjutkan hubungan kerja para pekerja/buruh yang sedang terikat PKWT?
Sesungguhnya hal demikian tidak menimbulkan kerugian pada perusahaan yang lama. Masalah akan mengancam perusahaan pemborong yang baru bila masa kerja pada perusahaan sebelumnya harus diperhitungkan sebagai masa kerja pada perusahaan yang baru.
Masalah lain yang munculadalah apakah isi perjanjian kerja pekerja/buruh suatu perusahaan mengikat pada perusahaan lain? Bagaimana bila bidang pekerjaan yang diborongkan itu berkurang, apakah perusahaan baru selaku pemenang tender boleh mengurangi jumlah pekerja/buruh yang dibutuhkannya?
Kalau menghendaki kepastian atas kondisi seperti itu, dibutuhkan kesepakatan semua pihak. Yaitu pekerja outsourcing, perusahaan outsourcing, perusahaan yang memborongkan pekerjaan, dan perusahaan outsourcing baru yang memenangkan tender. Kesepakatan itu dituangkan dalam perjanjian kerja.
Selama hukum positif tidak mengatur seperti itu, sulit
melaksanakan cara ini. Karena itu, perusahaan yang memborongkan pekerjaan lebih
efektif melakukan intervensi dengan cara menentukan jumlah dan gaji
pekerja/buruh yang dibutuhkan untuk mengerjakan pekerjaan yang diborongkan
disertai pengawasan yang prima. Metode ini bisa mencegah tindakan manipulasi
upah oleh perusahaan pemborong atau penyedia pekerja/buruh.
Dari segi hukum dan sumber keuangan, sulit mewajibkan perusahaan pemborong atau penyedia pekerja/buruh memperhitungkan atau melimpahkan masa kerja pekerja/buruh ke perusahaan pemborong berikutnya. Bila masa kerja pada semua perusahaan pemborong diperhitungkan sebagai masa kerja pada perusahaan berikutnya, misalnya si Polan bekerja di PT. Samudra selama 3 tahun, kemudian PT. Samudra diganti oleh PT. Alaska, selanjutnya, si Polan yang baru bekerja 1 tahun pada PT. Alaska mengalami PHK, tidak logis menghukum PT. Alaska membayar uang pesangon untuk masa kerja 4 tahun kepada si Polan.
Masalahnya, siapa
yang akan membayar uang pesangon itu, apakah PT. Alaska atau perusahaan yang
memborongkan pekerjaan itu? Putusan MK tidak tegas mendorong ke arah itu.
Tetapi, di sisi lain, putusan MK itu bisa diterjemahkan ke sana. Bila masa
kerja si Polan pada PT. Samudra diperhitungkan untuk mendapat kompensasi PHK
maka tidak tepat membebankan keuangan PT. Alaska untuk membayar masa kerja pada
perusahaan lain.
Beberapa tahun lalu, di sektor migas berlaku kebijakan, saat berakhir PKWT perusahaan pemborong pekerjaan atau penyedia jasa pekerja/buruh memberi kompensasi pengakhiran kontrak kerja sebesar satu bulan gaji kepada pekerja/buruh. Pembayaran itu mirip dengan uang pesangon. Yayasan Dana Tabungan Pensiun (YDTP) bertindak sebagai pelaksana kebijakan itu. Oleh karena outsourcing dan PKWT masih menjadi sistem kerja yang sah dalam hukum ketenagakerjaan, maka untuk mengurangi dampak buruk dari PKWT pemerintah perlu membuat regulasi dengan mewajibkan perusahaan memberi kompesasi pengakhiran PKWT kepada pekerja/buruh outsourcing.
C. Norma Baru dan Tindak Lanjut Putusan MK
Dalam praktik, hasil uji materi UU terhadap UUD 1945, MK tidak hanya menyatakan isi UU bertentangan dengan UUD 1945. Beberapa putusan MK menegaskan penafsiran atas ketentuan serta memberi norma baru. Terkait permohonan uji materi di atas, MK memberi norma baru sebagaimana terurai pada butir 3 (tiga) amar putusan.
Bila membaca secara cermat amar dan pertimbangan putusan MK No. 27/PUU-IX/2011, tampaknya pertimbangan lebih lugas dan tegas daripada amar putusan. Untuk memahami maksud dari amar putusan itu, pembaca dituntut melakukan penafsiran.
Dalam sistem peradilan, bagian putusan yang bisa dieksekusi adalah amar putusan. Hal-hal yang dikemukakan di dalam pertimbangan bila tidak diuraikan secara tegas di dalam amar putusan, maka uraian pertimbangan itu bukan bagian yang dapat dieksekusi. Karena itu, amar putusan pengadilan harus final dan terbebas dari tafsir. Segala sesuatu terkait dengan penafsiran diuraikan di dalam pertimbangan hukum. Berikut ini salah satu pertimbangan putusan MK yang tegas tetapi tidak disebut secara eksplisit di dalam amar.
“Dengan menerapkan pengalihan perlindungan....Masa kerja yang telah dilalui para pekerja outsourcing tersebut tetap dianggap ada dan diperhitungkan, sehingga pekerja outsourcing dapat menikmati hak-hak sebagai pekerja secara layak dan proporsional.”
Dalam kaitan dengan amar putusan MK di atas, Kemenakertrans dalam Surat Edaran No. B.31/PHIJSK/I/2012 menafsirkan amar putusan MK itu sebagai berikut :
a. Apabila dalam
perjanjian kerja antara perusahaan penerima pemborongan pekerjaan atau
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruhnya tidak
memuat adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang
objek kerjanya tetap ada (sama), kepada perusahaan penerima pemborongan
pekerjaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh lain, maka hubungan
kerja antara perusahaan penerima pekerjaan borongan atau perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruh harus didasarkan pada
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWTT).
b. Apabila dalam perjanjian kerja antara perusahaan penerima pemborongan pekerjaan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruhnya memuat syarat adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada (sama), kepada perusahaan penerima pemborongan pekerjaan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh lain, maka hubungan kerja antara perusahaan penerima pekerjaan borongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruhnya dapat didasarkan pada Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.
Meskipun MK memberi norma baru bagi kepentingan perlindungan pekerja/buruh outsourcing, MK tidak menjelaskan kapan putusan No. 27/PUU-IX2011 mulai berlaku. Maka, tidak salah menyatakan putusan itu mengikat sejak diucapkan. Artinya, putusan MK tersebut tidak berlaku surut. Konsekuensinya, perbuatan hukum perihal PKWT dalam outsourcing yang sudah dibuat sebelum putusan MK dibacakan tidak bisa dikualifikasi tidak sah atau batal berdasarkan putusan MK.
Bila putusan MK dinyatakan berlaku surut akan menimbulkan keresahan terutama di kalangan pengusaha sebab PKWT yang sedang berjalan berkorelasi dengan nilai tender kerja. Karena itu, putusan MK tersebut dapat diterapkan untuk perjanjian kerja outsourcing yang dibuat setelah putusan MK dibacakan.
Eksekutif dan legislatif sebagai pembentuk undang-undang seharusnya memiliki beban moral untuk segera merespon putusan MK yang memberikan norma baru atas suatu undang-undang.
Pemberian norma baru oleh MK berkaitan dengan pengujian UU Ketenagakerjaan, bukan kali ini saja dilakukan. Dalam putusan No. 115/PUU-VII/2009, MK memberi norma baru terkait dengan keterwakilan serikat pekerja/serikat buruh dalam perundingan perjanjian kerja bersama (PKB) di dalam perusahaan. Norma dalam putusan itu sama krusialnya dengan norma dalam putusan No. 27/PUU-IX/2011 ini.
Untuk memberi kepastian hukum, kini, saat yang tepat bagi pemerintah dan DPR membahas perubahan UU Ketenagakerjaan. Sejatinya, DPR dan pemerintah bisa memanfaatkan momen ini untuk mengadopsi keseluruhan norma yang terdapat dalam beberapa putusan MK menjadi hukum positif.
Tindaklanjut seperti ini paralel dengan Pasal 10 ayat (1) huruf (d) UU No 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Ketentuan itu mengamanatkan bahwa salah satu materi muatan undang-undang adalah tindak lanjut dari putusan MK. Artinya, implementasi putusan MK hanya dapat dimuat di dalam undang-undang. Pemerintah tidak boleh mengatur tindaklanjut putusan MK ke dalam peraturan pemerintah (PP), peraturan menteri (Permen) maupun surat edaran (SE).
Oleh karena itu, tindakan Kemenakertrans yang telah mengadopsi isi putusan MK No. 115/PUU-VII/2009 ke dalam Peraturan Menakertrans No. 16/Men/XI/2011 dan penerbitan Surat Edaran No. B.31/PHIJSK/I/2012untukmenindaklanjuti putusan MK Nomor 27/PUU-IX/2011adalah tidak selaras dan bertentangan dengan UU No 12 tahun 2011.
Selain itu, isi butir ketiga SE yang berbentuk seperti peraturan yang mengatur (regeling) juga menjadi masalah sendiri. Karena pada dasarnya surat edaran tidak termasuk bagian dari hirarki perundang-undangan.Bagir Manan dan Kuntana Magnar menjelaskan, SE tidak mengikat secara hukum (wetmatigheid) sehingga kedudukannya sering disebut bukan hukum (Bagir Manan & Kuntana Magnar, 1997 : 172). Dalam bukunya ‘Perihal Undang-Undang’ -Jimly Asshiddiqie menjabarkan, surat edaran sebagai aturan kebijaksanaan (policy rules atau beleidsregels). Surat edaran, Jimly menegaskan, bukan peraturan perundang-undangan (Jimly Asshiddiqie, 2010 : 273). Dengan demikian, tindaklanjut putusan MK ke dalam SE tidak relevan sebagai kepatuhan eksekutif melaksanakan putusan MK. Mengingat objek yang diputus oleh MK adalah UU, pemerintah dan DPR harus membuat sikap bersama sebab putusan MK berimplikasi pada produk politik kedua lembaga.
Barangkali ini yang menjadi masalah dalam penyusunan perundang-undangan khususnya yang berkaitan dengan tindak lanjut atas putusan MK. Membentuk UU memerlukan proses yang tidak singkat karena harus melalui tahapan Prolegnas. Namun, Presiden dan DPR karena alasan tertentu sebagaimana diuraikan di dalam Pasal 23 ayat (2) UU No. 12 tahun 2012 berhak mengajukan RUU di luar Prolegnas.
Untuk menyempurnakan hukum positif, saat ini cukup alasan pemerintah dan DPR melakukan perubahan atas UU Ketenagakerjaan. Menurut penulis, pendapat hukum yang terdapat dalam beberapa putusan MK terkait UU Ketenagakerjaan perlu segera dijabarkan ke dalam undang-undang sehingga implementasi putusan lebih optimal. Karena itu, perubahan UU ketenagakerjaan merupakan kebutuhan mendesak untuk memperketat aturan main outsourcing sehingga praktik outsourcing berjalan lebih baik
Sri Haryani, Dra. M.Si
Dosen STIM YKPN Yogyakarta
2 komentar
Write komentarthanks infonya
Replysemoga bisa bekerja sama jasa outsourcing bali
ReplyEmoticonEmoticon