ARTIKEL SUMPAH PEMUDA "SEMANGAT BARU DALAM MEMBERANTAS KORUPSI" (Sri Haryani)



Harapan & Semangat Baru Pemberantasan Korupsi




 Sri Haryani 

Hiruk pikuk korupsi di ranah eksekutif, legislatif, dan yudikatif nampaknya masih akan menarik perhatian publik untuk jangka waktu yang relatif panjang. Hal ini ditunjukkan dengan sampai saat ini belum ada tindak lanjut dari rekomendasi tim 8, meskipun tim 8 itu sendiri dinilai banyak pihak  hanya sebagai gerbang pembuka kasus-kasus korupsi yang skalanya lebih besar dan melibatkan orang-orang kunci di negara ini.

Ruwetnya kasus-kasus di atas sehingga perlu kehati-hatian yang luar biasa, yang nampaknya akan berlaku efek domino. Satu kasus dapat diurai akan berdampak pada kasus-kasus lain dan tentunya menyeret banyak pelaku termasuk yang dekat dengan SBY. Di sisi lain, seiring dengan lamanya waktu penyelesaian kasus-kasus korupsi yang sudah menjadi “ranah publik” kepercayaan masyarakat terhadap institusi eksekutif, legislatif dan yudikatif terus merosot. Demo dan tuntutan mundur POLRI,  Kejagung dan eksekutif di berbagai daerah menjadi bukti ketidakpercayaan tersebut. Bukan hanya itu saja, kalangan akademisi dan pakar-pakar hukum menyoroti adanya konflik kelembagaan negara yang melibatkan penegak hukum.

Dilihat dari proses terjadinya korupsi, satu sisi melibatkan eksekutif, legislatif atau yudikatif dan di sisi lain melibatkan pelaku bisnis,  pastilah tidak dapat  diabaikan peran pelaku bisnis dalam korupsi. Dengan demikian dapat dikatakan peran antara kedua pihak ini seimbang. Kalau perannya seimbang,  mestinya penilaian dan sikap masyarakat terhadap keduanya juga seimbang.  Kenyataannya tidak demikian. Pelaku bisnis seolah tidak tersentuh oleh “gelora masyarakat akan pemberantasan korupsi”.  Di ranah pemberitaan media,  diskusi akdemis, maupun diskusi publik tidak ada yang menyangkutpautkan pelaku bisnis dengan perilaku korup.

Pelaku bisnis yang menjunjung nilai-nilai etika dalam operasi bisnisnya, dijamin tidak akan bersedia menyentuh atau bahkan hanya berdekatan saja    dengan korupsi. Aplikasi penerapan etika yang relatif kecil dan tidak berdampak langsng terhadap keuntungan perusahaan adalah ketidaksediaan pelaku bisnis untuk memberikan kuintansi ganda atau kuitansi yang tidak sesuai dengan transaksi riilnya. Menjual produk dengan takaran yang   standar, mengurus perijinan secara prosedural dan tidak memberikan “amplop” untuk kelancaran ijinnya, atau memberikan  official service lain dengan tujan mendapat berbagai beneficiary dalam operasi bisnisnya.

Pelaku bisnis yang berperilaku tidak etis seperti di atas nampaknya tidak  mendapat sanksi yang berarti dari masyarakat. Barang dan jasa yang dihasilkan masih diterima oleh masyarakat bahkan keberadaan perusahaannya juga tidak tersentuh sama sekali. Harapan pemberian sanksi berada di tangan yudikatif  dan KPK. Namun dengan carut-marutnya penegakan hukum  di Indonesia, termasuk dalam pemberantasan korupsi, POLRI Kejaksaan, maupun KPK seakan berkurang kekuatannya.

Siapa yang harus turun tangan  untuk membuat para  pelaku bisnis berperilaku etis, sehingga dapat memutus rantai korupsi. Dilihat dari etika yang merupakan nilai, norma, dan kebiasaan baik yang berlaku di masyarakat, maka yang mempunyai otoritas terhadap etika adalah masyarakat. Mayarakat yang akan mengawasi dan memberikan punishment  terhadap pelanggaran etika oleh pelaku bisnis. Sanksi dari masyarakat dapat berupa penilaian (citra) yang buruk dari masyarakat sampai penolakan terhadap produk.    Sansi ini dapat menurunkan tingkat keuntungan perusahaan atau bahkan mengancam kelangsungan hidupnya.


Masalahnya adalah bagaimana kalau sebagian besar masyarakat bersikap apatis, sehingga tidak mempunyai kepedulian  beretikatidaknya pelaku bisnis. Bagaimana kalau sebagian besar masyarakat cenderung materialistis, sehingga nilai-nilai etika kurang diperhatikan. Para pelaku bisnis yang terlibat dalam kasus korupsi tidak mendapat sanksi atau tekanan yang cukup berarti dari masyarakat. Mereka tetap menjadi warga negara kelas satu, karena kekayaan yang dimilikinya.

Di tengah hiruk pikuk perilaku korup dan tidakanya nilai-nilai etika para pelaku bisnis, harapan untuk menyuarakan nilai etika jatuh ke kelompok rohaniawan. Setiap agama mengajarkan pemeluknya untuk jujur, adil, mengasihi orang lain yang semuanya ini diturunkan menjadi nilai-nilai etika. Kalangan akademisi juga dituntut untuk lebih gigih menanamkan nilai-nilai  etika kepada anak didiknya, baik sebagai mata kuliah/mata pelajaran  tersendiri maupun include di setiap mata kuliah/mata pelajaran yang diberikan. Terakhir, dari mereka yang mempunyai nilai atau pendapat bahwa korupsi merupakan tindakan yang tidak terpuji dan merugikan negara dan masyarakat, sehingga harus diberantas. Dilihat dari jumlahnya kelompok ini paling banyak, namun biasanya kurang ekspresif  untuk mengatakan tidak pada  korupsi (say no to corrupt).  Dengan demikian rihaniawan, akademisi, dan bahkan LSM-LSM dapat berperan sebagai triger  untuk bersama-sama memberantas korupsi. Mengambil falsafah sapu lidi, satu lidi tidak akan bisa membersihkan sampah yang terserak dihalaman. Anggota dan kelompok masyarakat secara individu tidak akan mampu membersihkan korupsi dari negara ini, kecuali mereka  dalam satu ikatan.

Sri Haryani
Dosen STIM YKPN

Previous
Next Post »