Vandalisme
Vandalisme atau tindakan corat-coret di fasilitas umum dan ditempat-tempat keramaian semakin banyak kita
jumpai. Bahkan vandalisme meluas tidak hanya di fasilitas umum dan tempat
ramai, tetapi juga pada bidang datar apa
saja yang dapat ditemukan, seperti meja dan kursi sekolah, meja warung makan, bahkan
tempat kerupuk di warung mie ayam. Vandalisme tidak hanya sebagai ekspresi diri
dan kelompoknya
sehingga dilihat
dan diperhitungkan orang, tetapi sekarang juga sebagai wahana iseng. Sambil menunggu pesanan mie
ayam di siapkan pedagangnya, tangannya iseng menuliskan namnya dengan nama
“sang idola” dengan diselingi lambang love.
Ada pula yang lebih ekspresif, sambil menunggu antrean di WC umum, seorang
remaja laki-laki tidak tahan untuk buang hajad lalu mengambil spidol dan
menuliskan “fuck U”. Vandalisme menjadi saluran untuk mengeluarkan apa yang ada
dalam pikiran dan perasannya, namun tidak dengan cara dan media yang tepat.
Oleh karena itu hasilnya belum tentu optimal, dan bahkan berpotensi menyebabkan
perkelahian antar geng.
Dilihat dari apa yang ditulisnya dan mereka yang kebetulan tertangkap
melakukan vandalisme, pelakunya adalah anak muda dengan kisaran usia anak pendidikan SLTP
sampai mahasiswa (15 – 25 tahun). Pada usia ini anak sedang mencari jati diri,
anak sedang muncul kebutuhannya bahwa ia punya pendapat dan keinginan, dan
mulai menemukan sesuatu yang baru yang seringkali ia merasa belum siap. Sementara
itu untuk mengungkapkannya kepada orang lain, baik itu orang tua, guru, teman,
dan lingkungannya perlu ketrampilan dan
keberanian. Anak yang mempunyai kemampuan komunikasi yang cukup, apakah karena contoh orang tua, ajaran agama,
pendidikan sekolah atau hal lain akan mencoba untuk mengungkapkan dan
menyalurkan pendapat, keinginan, dan kebutuhannya. Bagi mereka yang tidak
berhasil mengungkapkannya, vadalisme menjadi salah satu sarana penyalurannya.
Pelaku vandalisme pada umumnya
melakukan aksinya dengan sembunyi-sembunyi sehingga tidak diketuhui orang,
misalnya malam hari ketika sudah sepi.
Sore hari pager rumahnya masih bersih, namun paginya sudah penuh dengan
coretan dan gambar-gambar. Namun sebagian melakukannya di siang atau sore hari,
orang melihat atau tahu namun kalaupun tahu mereka tidak memperhatikannya
secara khusus. Sepanjang siang hari, Jalan P. Senopati Yogyakarta tidak pernah
sepi. Meskipun demikian ada saja wisatawan domestik yang sempat menggoreskan
benda tumpul untuk menuliskan namnya, karena ia ingin membuktikan dan dikethui
bahwa ia pernah ke Yogyakarta. Suatu saat
apabila ia datang lagi, ia akan mencari namanya lagi, secara tidak
sengaja di baca oleh temannya, atau bahkan menunjukkan kepada temannya bahwa
pada tahun 2009 ia pernah ke situ dan
menunjukkan goresan namanya di gerobag pedagang kak lima yang menjual
penanggalan. Beda lagi ceritanya, ketika
3 sepeda motor tiba-tiba berhenti di lapangan Denggung, Sleman, mereka dengan
gagah berani dan bangga menulsikan nama gengnya pada salah satu tembok yang ada
di situ. Sambil berjalan kembali ke sepeda motornya yang diparkir di pinggir
lapangan, salah satu dari mereka
menuliskan kata yang tidak senonoh. Mereka melakukannya tidak dengan
sembunyi-sembunyi dan tidak pula dengan takut-takut, yang ditunjukkan dari
ekspresi wajah dan cara mereka berjalan.
Bagaimana respon orang tua ketika
tahu anaknya melakukan aksi vandalisme juga berbeda-beda, bahkan ada yang tidak
tahu sama sekali. Pagi-pagi sebuah kantor, seorang karyawati datang dengan muka
bersungit-sungut dan ekspresi tidak sabar untuk segera menumpahkan apa yang mengganjal
dihatinya. Begitu teman seruangnya masuk, segera ia mencerikan bahwa anaknya tadi malam ketangkap petugas sedang
melakukan aksi vandalisme. Si ibu mengatakan bahwa anaknya adalah anak yang
baik, anak yang manis, anak yang tidak pernah melakukan hal-hal yang merugikan
orang lain. Namun karena ia berteman dengan si B, maka kalau di luar rumah ia
menjadi nakal. Bahkan bersama si B temannya itu, si anak pernah ketahuan
bapaknya sedang mengamen di suatu traffic
light perempatan di kota lain. Beda lagi cerita orang tua si B, ia sangat
bangga karena anaknya dapat melanjutkan SMAnya di Yogyakarta, dan nilainya juga
lumayan. Karena sekolah di Yogyakarta meskiun tidak juara tetapi posentsi untuk
diterima di PTN maupun PTS terkemua di Yogyakarta sangat besar. Demikian banyak
cerita dari para ibu yang lain dari kelompok itu, namun intinya masing-masing
orang tua itu menilai bahwa anaknya adalah anak yang baik, anak yang manis dan
bahkan cukup pintar. Kalau ia sampai melakukan vandalisme, itu karena pengaruh
dari teman-teman disekitarnya.
Fenomena ini terus berlanjut, sampai pihak sekolah, eksekutif dan
legislatif perlu turun tangan untuk memberantasnya. Meskipun semangatnya tidak
sekuat pemberantasn korupsi, namun kepedulain berbagai pihak patut diberi
apresiasi yang tinggi. Muncul kekhawatiran, kalau hal ini dibiarkan akan
berlanjut pada pengrusakan dan pencurian fasilitas umum yang sangat dibutuhkan
masyarakat. Pelakunya bukan hanya mereka yang mempunyai motif atau tujuan “mencuri”, tetapi juga untuk
gagah-gagahan, menunjukkan kalau dirinya berani, dan bahkan sampai penyaluran
ekspresi yang tidak pada tempatnya.
Namun upaya sekolah, eksekutif
dengan peraturan dan sangsi-sangsinya itu kurang berarti. Hal ini disebabkan bukan hanya efek jera belum
sampai ke masyarakat yang lebih luas, tetapi karena masalahanya adalah
penyaluran yang belum ketemu caranya, medainya, atau bahkan kalau sudah ketemu dapat
juga saluarannya ternyata macet.
Dari
fenomena tersebut, kiranya perlu dipikirkan
bagaimana solusinya.Mengajari anak untuk mengkomunikasikan apa yang
diinginkan, apa yang dibutuhkan, dan apa pendapatnya menjadi salah satu
alternatif yang sering digunakan. Cara mengajari yang paling mudah adalah
dengan memberikan contoh dari lingkungan keluarga. Cobalah masing-masing
anggota keluarga untuk berkomunikasi, dan beri kesempatan untuk
mengkomunikasikannya. Biasakan untuk tidak memotong pembicaraan orang lain,
termasuk anak pembicaraan. Kemudian berikan respon secara proporsional. Demikian sebaliknya, jika oang tua
mengeluarkan pendapat, beri kesempatan untuk memberikan respon. Jika anak tidak
memberikan respon, doronglah untuk memberikan respon apapun bentunya.
Jangan segera menyalahkan apabila
responnya tidak seperti yang diharapkan orang tua. Namun juga jangan heran,
kalau pendapatnya tidak seperti yang diduga orang tua.
Rasa cinta lingkungan diyakini
banyak ahli dapat mencegah aksi vandalisme. Mereka yang cinta lingkungan tidak
akan tega untuk mengotori tembok, papan-papan pengumuman, halte bus, meja dan
kursi sekolah, tempat duduk di bis, dinding bis, bahkan tembok WS umum yang
kebanyakan bau dan kotor. Bahkan untuk membuang sampah di sembarang tempatpun
mereka tidak akan melakukannya. Dalam tingkatan yang lebih tinggi, mereka
berani untuk
Terakhir, dukung anak untuk melakukan kegiatan yang positif. Olah raga,
bela diri, menekuni hobi seperti naik gunung, wall climbing, menyanyi, menari, main band dan sebagainya merupakan salah satu penyaluran ego, sehingga
mereka dapat menemukan jati dirinya. Seandainya vandalisme adalah penyakit
masyarakat, maka kita wajib berikhtiar untuk mengobatinya. Meskipun begitu, mencegah selalu lebih baik dari pada
mengobatinya.
(Penulis adalah Staf Pengajar STIM YKPN
Yogyakarta)
EmoticonEmoticon