ARTIKEL VANDALISME (Sri Haryani)


Vandalisme 


                                                        Sri Haryani

Vandalisme atau tindakan corat-coret di fasilitas umum dan  ditempat-tempat keramaian semakin banyak kita jumpai. Bahkan vandalisme meluas tidak hanya di fasilitas umum dan tempat ramai, tetapi juga pada  bidang datar apa saja yang dapat ditemukan, seperti meja dan kursi sekolah, meja warung makan, bahkan tempat kerupuk di warung mie ayam. Vandalisme tidak hanya sebagai ekspresi diri dan kelompoknya
sehingga dilihat dan diperhitungkan orang, tetapi sekarang juga sebagai  wahana iseng. Sambil menunggu pesanan mie ayam di siapkan pedagangnya, tangannya iseng menuliskan namnya dengan nama “sang idola” dengan diselingi lambang love. Ada pula yang lebih ekspresif, sambil menunggu antrean di WC umum, seorang remaja laki-laki tidak tahan untuk buang hajad lalu mengambil spidol dan menuliskan “fuck U”. Vandalisme menjadi saluran untuk mengeluarkan apa yang ada dalam pikiran dan perasannya, namun tidak dengan cara dan media yang tepat. Oleh karena itu hasilnya belum tentu optimal, dan bahkan berpotensi menyebabkan perkelahian antar geng.
Dilihat dari apa yang ditulisnya dan mereka yang kebetulan tertangkap melakukan vandalisme, pelakunya adalah anak muda  dengan kisaran usia anak pendidikan SLTP sampai mahasiswa (15 – 25 tahun). Pada usia ini anak sedang mencari jati diri, anak sedang muncul kebutuhannya bahwa ia punya pendapat dan keinginan, dan mulai menemukan sesuatu yang baru yang seringkali ia merasa belum siap. Sementara itu untuk mengungkapkannya kepada orang lain, baik itu orang tua, guru, teman, dan lingkungannya   perlu ketrampilan dan keberanian. Anak yang mempunyai kemampuan komunikasi yang cukup, apakah  karena contoh orang tua, ajaran agama, pendidikan sekolah atau hal lain akan mencoba untuk mengungkapkan dan menyalurkan pendapat, keinginan, dan kebutuhannya. Bagi mereka yang tidak berhasil mengungkapkannya, vadalisme menjadi salah satu sarana penyalurannya.
            Pelaku vandalisme pada umumnya melakukan aksinya dengan sembunyi-sembunyi sehingga tidak diketuhui orang, misalnya malam hari ketika sudah sepi.  Sore hari pager rumahnya masih bersih, namun paginya sudah penuh dengan coretan dan gambar-gambar. Namun sebagian melakukannya di siang atau sore hari, orang melihat atau tahu namun kalaupun tahu mereka tidak memperhatikannya secara khusus. Sepanjang siang hari, Jalan P. Senopati Yogyakarta tidak pernah sepi. Meskipun demikian ada saja wisatawan domestik yang sempat menggoreskan benda tumpul untuk menuliskan namnya, karena ia ingin membuktikan dan dikethui bahwa ia pernah ke Yogyakarta. Suatu saat  apabila ia datang lagi, ia akan mencari namanya lagi, secara tidak sengaja di baca oleh temannya, atau bahkan menunjukkan kepada temannya bahwa pada tahun 2009 ia pernah  ke situ dan menunjukkan goresan namanya di gerobag pedagang kak lima yang menjual penanggalan.  Beda lagi ceritanya, ketika 3 sepeda motor tiba-tiba berhenti di lapangan Denggung, Sleman, mereka dengan gagah berani dan bangga menulsikan nama gengnya pada salah satu tembok yang ada di situ. Sambil berjalan kembali ke sepeda motornya yang diparkir di pinggir lapangan,  salah satu dari mereka menuliskan kata yang tidak senonoh. Mereka melakukannya tidak dengan sembunyi-sembunyi dan tidak pula dengan takut-takut, yang ditunjukkan dari ekspresi wajah dan cara mereka berjalan.  
            Bagaimana respon orang tua ketika tahu anaknya melakukan aksi vandalisme juga berbeda-beda, bahkan ada yang tidak tahu sama sekali. Pagi-pagi sebuah kantor, seorang karyawati datang dengan muka bersungit-sungut dan ekspresi tidak sabar untuk segera menumpahkan apa yang mengganjal dihatinya. Begitu teman seruangnya masuk, segera ia mencerikan bahwa  anaknya tadi malam ketangkap petugas sedang melakukan aksi vandalisme. Si ibu mengatakan bahwa anaknya adalah anak yang baik, anak yang manis, anak yang tidak pernah melakukan hal-hal yang merugikan orang lain. Namun karena ia berteman dengan si B, maka kalau di luar rumah ia menjadi nakal. Bahkan bersama si B temannya itu, si anak pernah ketahuan bapaknya sedang mengamen di suatu traffic light perempatan di kota lain. Beda lagi cerita orang tua si B, ia sangat bangga karena anaknya dapat melanjutkan SMAnya di Yogyakarta, dan nilainya juga lumayan. Karena sekolah di Yogyakarta meskiun tidak juara tetapi posentsi untuk diterima di PTN maupun PTS terkemua di Yogyakarta sangat besar. Demikian banyak cerita dari para ibu yang lain dari kelompok itu, namun intinya masing-masing orang tua itu menilai bahwa anaknya adalah anak yang baik, anak yang manis dan bahkan cukup pintar. Kalau ia sampai melakukan vandalisme, itu karena pengaruh dari teman-teman disekitarnya. 
Fenomena ini terus berlanjut, sampai pihak sekolah, eksekutif dan legislatif perlu turun tangan untuk memberantasnya. Meskipun semangatnya tidak sekuat pemberantasn korupsi, namun kepedulain berbagai pihak patut diberi apresiasi yang tinggi. Muncul kekhawatiran, kalau hal ini dibiarkan akan berlanjut pada pengrusakan dan pencurian fasilitas umum yang sangat dibutuhkan masyarakat. Pelakunya bukan hanya mereka yang mempunyai motif  atau tujuan “mencuri”, tetapi juga untuk gagah-gagahan, menunjukkan kalau dirinya berani, dan bahkan sampai penyaluran ekspresi yang tidak pada tempatnya.
            Namun upaya sekolah, eksekutif dengan peraturan dan sangsi-sangsinya itu kurang berarti.  Hal ini disebabkan bukan hanya efek jera belum sampai ke masyarakat yang lebih luas, tetapi karena masalahanya adalah penyaluran yang belum ketemu caranya, medainya, atau bahkan kalau sudah ketemu dapat juga saluarannya ternyata macet.
          Dari fenomena tersebut, kiranya perlu dipikirkan  bagaimana solusinya.Mengajari  anak untuk mengkomunikasikan apa yang diinginkan, apa yang dibutuhkan, dan apa pendapatnya menjadi salah satu alternatif yang sering digunakan. Cara mengajari yang paling mudah adalah dengan memberikan contoh dari lingkungan keluarga. Cobalah masing-masing anggota keluarga untuk berkomunikasi, dan beri kesempatan untuk mengkomunikasikannya. Biasakan untuk tidak memotong pembicaraan orang lain, termasuk anak pembicaraan. Kemudian berikan respon secara proporsional.  Demikian sebaliknya, jika oang tua mengeluarkan pendapat, beri kesempatan untuk memberikan respon. Jika anak tidak memberikan respon, doronglah untuk memberikan respon apapun bentunya. Jangan  segera menyalahkan apabila responnya tidak seperti yang diharapkan orang tua. Namun juga jangan heran, kalau pendapatnya tidak seperti yang diduga orang tua.
            Rasa cinta lingkungan diyakini banyak ahli dapat mencegah aksi vandalisme. Mereka yang cinta lingkungan tidak akan tega untuk mengotori tembok, papan-papan pengumuman, halte bus, meja dan kursi sekolah, tempat duduk di bis, dinding bis, bahkan tembok WS umum yang kebanyakan bau dan kotor. Bahkan untuk membuang sampah di sembarang tempatpun mereka tidak akan melakukannya. Dalam tingkatan yang lebih tinggi, mereka berani untuk
Terakhir, dukung anak untuk melakukan kegiatan yang positif. Olah raga, bela diri, menekuni hobi seperti naik gunung, wall climbing, menyanyi, menari, main band dan sebagainya  merupakan salah satu penyaluran ego, sehingga mereka dapat menemukan jati dirinya. Seandainya vandalisme adalah penyakit masyarakat, maka kita wajib berikhtiar untuk mengobatinya. Meskipun begitu,  mencegah selalu lebih baik dari pada mengobatinya.

(Penulis adalah Staf Pengajar STIM YKPN Yogyakarta)
           












Previous
Next Post »