ARTIKEL SUMPAH PEMUDA "BERHARAP DARI SUMPAH PEMUDA ANTI KORUPSI" (Sri Haryani)



Berharap dari Sumpah Pemuda Anti Korupsi



Mengapa pemuda memilih tema sumpah pemuda kali ini adalah sumpah pemuda anti korupsi? Kalau dianalogikan pada tahun 1928, di mana pemuda menetapkan  sumpah mereka adalah berbangsa satu bangsa Indoensia, berbahasa satu bahasa Indonesai, dan bertanah air satu tanah air Indonesia. Pada saat itu persoalan bangsa adalah persatuan dan kesatuan. Jadi kalau sekarang pemuda memilih sumpahnya dengan sumpah anti korupsi berarti pemuda menilai bahwa persoalan bangsa saat ini adalah korupsi.

Sampai saat ini hiruk pikuk korupsi di ranah eksekutif, legislatif, dan yudikatif nampaknya masih akan berlangsung untuk jangka waktu yang relatif panjang. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya pelaku korupsi yang sudah dijatuhi hukuman, sedang diproses, maupun masih bebas melengang. Fenomena ini bukan hanya di tingkat nasional yang sering kita lihat lewat tayangan televisi nasional dan dikupas oleh tokoh-tokoh nasional, tetapi juga di tingkat daerah.

Seiring dengan lamanya waktu penyelesaian kasus-kasus korupsi yang sudah menjadi “ranah publik”, kepercayaan masyarakat terhadap institusi eksekutif, legislatif dan yudikatif terus merosot. Demo dan tuntutan mundur untuk kalangan eksekutif, legislatif, dan yudikatif menjadi bukti ketidakpercayaan tersebut. Sumpah pemuda anti korupsi membawa harapan baru pemberantasan korupsi, sumpah pemuda anti korupsi akan menjadi “virus” yang dapat menginfeksi seluruh komponen bangsa.   

Berbicara keberhasilan sumpah pemuda  saja pastilah tidak cukup, harus pula disertai dengan prosesnya. Pemuda  yang mempunyai kepekaan dengan masalah-masalah nasional, mampu menyimpulkan apa masalah utama yang dihadapi dan menyatakan serta menyebarluaskan masalah tersebut sebagai tanggung jawab. Mereka juga berupaya mencarisolusi untuk menyelesaikan masalah. Pemuda bukan hanya sebagai penggerak (trigger)  tetapi juga sekaligus pelaku sumpah pemuda. Proses ini masih sama antara sumpah pemuda anti korupsi dengan sumpah pemuda persautuan dan kesatuan. Hanya saja pada saat itu  tokoh-tokoh nasional dari berbagai elemen “satu kata dengan pemuda”. Saat ini ada rasa pesimis sumpah anti korupsi ini  akan direspon  secara luas dan geloranya dapat dirasakan seluruh komponan bangsa. Beberapa “oknum” baik dari kalangan eksekutif, legislatif, dan yudikatif terlibat dalam kasus korupsi menjadi salah satu penyebabnya.  

Dilihat dari proses terjadinya korupsi, satu sisi melibatkan eksekutif, legislatif atau yudikatif dan di sisi lain melibatkan pelaku bisnis. Dengan demikian   pastilah tidak dapat  diabaikan peran pelaku bisnis dalam korupsi. Dengan demikian dapat dikatakan peran antara kedua pihak ini seimbang. Kalau perannya seimbang,  mestinya penilaian dan sikap masyarakat terhadap keduanya juga seimbang.  Kenyataannya di dalam praktek tidak demikian. Pelaku bisnis seolah tidak tersentuh oleh “sumpah pemuda anti korupsi”.  Meskipun dilapangan beberapa pelaku bisnis diajtuhi hukuman karena korupsi, namun di ranah diskusi akademis maupun diskusi publik jarang sekali  yang menyangkutpautkan pelaku bisnis dengan perilaku korup.

Dengan pelaku bisnis yang menjunjung nilai-nilai etika dalam operasi bisnisnya,  ia akan berusaha menjauhkan  kegiatan bisnisnya dari korupsi. Aplikasi penerapan etika yang relatif kecil dan tidak berdampak langsung terhadap keuntungan perusahaan adalah ketidaksediaan pelaku bisnis untuk memberikan kuintansi ganda atau kuitansi yang tidak sesuai dengan transaksi riilnya. Menjual produk dengan takaran yang   standar, mengurus perijinan secara prosedural dan tidak memberikan “amplop” untuk kelancaran ijinnya, atau memberikan  official service lain dengan tujuan mendapat berbagai beneficiary dalam operasi bisnisnya.

Pelaku bisnis yang berperilaku tidak etis nampaknya tidak  mendapat sanksi yang berarti dari masyarakat. Barang dan jasa yang dihasilkan masih diterima oleh masyarakat bahkan keberadaan perusahaannya juga tidak tersentuh sama sekali. Harapan pemberian sanksi berada di tangan yudikatif  dan KPK. Namun dengan carut-marutnya penegakan hukum  di Indonesia, termasuk dalam pemberantasan korupsi, POLRI Kejaksaan, maupun KPK seakan berkurang kekuatannya.

Dengan “sumpah pemuda anti korupsi” diharapkan muncul kesadaran semua pihak untuk turun tangan  tangan memutus rantai korupsi. Dilihat dari etika yang merupakan nilai, norma, dan kebiasaan baik yang berlaku di masyarakat, maka yang mempunyai otoritas terhadap etika adalah masyarakat. Setelah “pemuda bersumpah anti korupsi” masyarakat bersama-sama pemuda akan mengawasi dan memberikan punishment  terhadap pelanggaran etika oleh pelaku bisnis. Sanksi dari masyarakat dapat berupa penilaian (citra) yang buruk dari masyarakat sampai penolakan terhadap produk.    Sanksi ini dapat menurunkan tingkat keuntungan perusahaan atau bahkan mengancam kelangsungan hidupnya. Sementara itu masyarakat juga mengawasi korupsi yang terjadi di  eksekutif, legislatif dan  yudikatif. Demostrasi atau unjuk rasa yang selama ini dapat kita lihat menjadi salah satu bentuk pengawasan masyarakat terhadap perilaku korup di ketiga lingkungan tersebut, meskpun tidak harus dalam bentuk itu. 

Bagaimana kalau sebagian besar masyarakat cenderung materialistis, sehingga nilai-nilai etika kurang diperhatikan. Baik eksekutif, legislatif, yudikatif maupun pelaku bisnis yang terlibat dalam kasus korupsi tidak mendapat sanksi atau tekanan yang cukup berarti dari masyarakat. Mereka tetap menjadi warga negara kelas satu, karena kekayaan atau kekuasaan yang dimilikinya.


Sumpah pemuda anti korupsi diharapkan mampu mencairkan sikap  sebagian besar masyarakat yang apatis terhadap korupsi. Kalangan rokhaniawan, akademisi, dan media diharapkan mengambil peran yang lebih besar dalam  pemberantasan rantai korupsi. Rohaniawan, akademisi,   dan media mempunyai peluang yang sangat signifikan untuk menyebarluaskan dan sekaligus menginfeksi masyarakat akan sikap anti korupsi.

Setiap agama mengajarkan pemeluknya untuk jujur, adil, mengasihi orang lain yang semuanya ini diturunkan menjadi nilai-nilai etika. Kalangan akademisi juga dituntut untuk lebih gigih menanamkan nilai-nilai  etika kepada anak didiknya, baik sebagai mata kuliah/mata pelajaran  tersendiri maupun include di setiap mata kuliah/mata pelajaran yang diberikan. Terakhir,  mereka yang mempunyai nilai atau pendapat bahwa korupsi merupakan tindakan yang tidak terpuji dan merugikan negara maupun masyarakat, mereka mempunyai semangat untuk memberantasnya.

Sementara itu kita tunggu kinerja aparat penegak hukum dan untuk “bersih-bersih” di lingkungannya dan menyapu halaman Indonesia sehingga bersih dari korupsi. Mengambil falsafah sapu lidi, satu lidi tidak akan bisa membersihkan sampah yang terserak di halaman. Anggota dan kelompok masyarakat secara individu  akan sulit untuk  membersihkan korupsi dari negara ini, kecuali mereka  bersama-sama dalam satu ikatan.....

Sri Haryani
Dosen STIM YKPN

Previous
Next Post »